Daftar Diagnosa Terbaru
-
Article No. 21967 | 07 Oct 2025
Klinis : bb 5,8 kg panjang 64 cm usia 11 bulan
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.
-
Article No. 21968 | 07 Oct 2025
Klinis : OBAT HABIS. KONTROL HT. KELUHAN KEPALA KADANG CEKOT CEKOT
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.
-
Article No. 21969 | 07 Oct 2025
Klinis : pasien post laparatomi apendicsitis, terpasang drain, terdapat jahitan lanjang 12 cm di abdomen perut tampak kembung, peristaltik 4, diare terus sudah 4x sejak pagi
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Disfungsi Motilitas Gastrointestinal
Kode SDKI: D.0019
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Disfungsi Motilitas Gastrointestinal adalah suatu kondisi klinis yang ditandai dengan peningkatan, penurunan, ketidakefektifan, atau tidak adanya sama sekali aktivitas peristaltik pada sistem gastrointestinal. Kondisi ini merupakan salah satu diagnosis keperawatan yang sering dijumpai pada pasien pascaoperasi, terutama operasi abdomen seperti laparatomi. Motilitas gastrointestinal yang normal sangat penting untuk proses pencernaan, absorpsi nutrien, dan eliminasi sisa metabolisme. Gangguan pada fungsi ini dapat menyebabkan berbagai masalah, mulai dari ketidaknyamanan ringan hingga komplikasi yang mengancam jiwa seperti ileus paralitik atau obstruksi usus.
Penyebab disfungsi motilitas gastrointestinal sangat beragam dan dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori. Pada kasus pasien pasca laparatomi apendisitis, penyebab utamanya sering kali bersifat multifaktorial. Faktor fisiologis seperti imobilisasi akibat nyeri dan kelemahan pascaoperasi, serta respons stres tubuh terhadap pembedahan, dapat memperlambat kerja usus. Faktor situasional memegang peranan yang sangat signifikan, di mana efek agen farmakologis seperti anestesi umum dan analgesik opioid yang digunakan selama dan setelah operasi diketahui memiliki efek depresan langsung pada otot polos usus, sehingga menurunkan atau menghentikan gerakan peristaltik. Manipulasi usus secara langsung selama prosedur pembedahan juga dapat menyebabkan trauma lokal dan inflamasi, yang memicu terjadinya ileus pascaoperasi (postoperative ileus), suatu bentuk disfungsi motilitas yang umum terjadi. Selain itu, adanya inflamasi akibat kondisi primer (apendisitis) juga turut berkontribusi terhadap gangguan fungsi usus.
Gejala dan tanda yang muncul pada pasien dengan Disfungsi Motilitas Gastrointestinal dapat bervariasi. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI) membaginya menjadi gejala mayor dan minor. Gejala mayor objektif yang sangat relevan dengan kasus ini adalah bising usus yang hipoaktif (kurang dari 5 kali per menit) atau bahkan hiperaktif, serta perut yang tampak kembung atau mengalami distensi. Pada pasien ini, ditemukan bising usus 4Article No. 21970 | 07 Oct 2025
Klinis : Keluhan masuk: sesak nafas sudah seminggu, memberat tiba2 hari ini, mual muntah tidak ada.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Pola Napas Tidak Efektif
Kode SDKI: D.0005
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Pola Napas Tidak Efektif adalah suatu kondisi klinis yang didefinisikan sebagai inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi yang adekuat. Ini berarti proses mekanis pernapasan, yang melibatkan pergerakan udara masuk dan keluar dari paru-paru, terganggu sehingga pertukaran gas oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2) di tingkat alveolar tidak dapat berlangsung secara optimal. Kondisi ini merupakan salah satu masalah pernapasan yang paling umum ditemui dalam praktik keperawatan dan dapat menjadi tanda adanya gangguan fisiologis yang serius, mulai dari masalah ringan hingga kondisi yang mengancam jiwa. Kegagalan untuk mengenali dan menangani pola napas yang tidak efektif dapat berujung pada komplikasi berat seperti hipoksemia (kadar oksigen darah rendah), hiperkapnia (kadar karbon dioksida darah tinggi), asidosis respiratorik, dan akhirnya gagal napas.
PArticle No. 21971 | 07 Oct 2025
Klinis : Keluhan masuk: sesak nafas sudah seminggu, memberat tiba2 hari ini, mual muntah tidak ada.
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10:
Kondisi: Dispnea (Sesak Napas)
Kode ICD-10: R06.0
Deskripsi Singkat : Dispnea adalah istilah medis untuk sensasi subjektif kesulitan atau ketidaknyamanan saat bernapas, yang biasa dikenal sebagai sesak napas. Kode ICD-10 R06.0 digunakan secara spesifik untuk mengklasifikasikan gejala ini ketika diagnosis definitif yang menyebabkannya belum ditegakkan. Kode ini termasuk dalam Bab XVIII ICD-10 (Gejala, Tanda, dan Temuan Klinis dan Laboratorium Abnormal, Tidak Diklasifikasikan di Tempat Lain), yang menandakan bahwa ini adalah sebuah gejala, bukan penyakit akhir. Penggunaan kode ini sangat umum pada kunjungan awal atau di unit gawat darurat sebelum investigasi lengkap dilakukan. Sesak napas bisa menjadi manifestasi dari berbagai kondisi medis yang mendasari, seperti penyakit pernapasan (asma, PPOK, pneumonia), penyakit kardiovaskular (gagal jantung, serangan jantung), anemia, atau gangguan kecemasan. Berdasarkan keluhan "sesak nafas sudah seminggu, memberat tiba2", kode R06.0 adalah pilihan yang paling tepat untuk mencatat keluhan utama pasien sambil menunggu diagnosis penyebabnya.
***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti kodifikasi resmi oleh profesional medis.***
Article No. 21943 | 06 Oct 2025
Klinis : Pasien Menyatakan frustasi atau tidak mampu melaksanakan aktivitas sebelumnya Seluruh kebutuhan pasien bergantung penuh pada keluarga
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Defisit Perawatan Diri
Kode SDKI: D.0109
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Defisit Perawatan Diri, dengan kode diagnosis D.0109 dalam Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), didefinisikan sebagai kondisi di mana seorang individu tidak mampu melakukan atau menyelesaikan aktivitas perawatan diri secara mandiri. Kondisi ini merupakan salah satu diagnosis keperawatan yang paling fundamental karena menyentuh aspek dasar kebutuhan manusia, yaitu kemampuan untuk merawat tubuhnya sendiri. Ini mencakup berbagai aktivitas esensial sehari-hari seperti mandi, berpakaian dan berhias, makan, serta toileting (buang air besar dan kecil). Ketidakmampuan ini bukan sekadar masalah ketidaknyamanan, melainkan sebuah tantangan signifikan yang berdampak luas terhadap kesehatan fisik, kesejahteraan psikologis, martabat, dan kualitas hidup pasien secara keseluruhan. Pernyataan pasien yang merasa frustrasi atau tidak mampu melaksanakan aktivitas sebelumnya, ditambah dengan data objektif bahwa seluruh kebutuhannya bergantung penuh pada keluarga, adalah manifestasi klasik dari diagnosis ini. Frustrasi tersebut muncul dari hilangnya otonomi dan kemandirian, yang merupakan pukulan berat bagi harga diri seseorang.
Penyebab (etiologi) dari Defisit Perawatan Diri sangat bervariasi dan dapat dikategorikan menjadi beberapa faktor. Faktor utama sering kali berasal dari gangguan fisik, seperti gangguan muskuloskeletal (misalnya, fraktur, artritis berat) dan gangguan neuromuskular (misalnya, stroke, cedera tulang belakang, Multiple Sclerosis, penyakit Parkinson). Kondisi-kondisi ini secara langsung mengganggu kekuatan otot, koordinasi, rentang gerak, dan keseimbangan yang diperlukan untuk melakukan tugas-tugas perawatan diri. Kelemahan umum, kelelahan kronis akibat penyakit sistemik (misalnya, gagal jantung, PPOK), atau nyeri yang tidak terkontrol juga dapat membuat aktivitas sederhana menjadi sangat sulit atau tidak mungkin dilakukan.
Selain faktor fisik, faktor kognitif dan psikologis memegang peranan penting. Gangguan kognitif seperti pada demensia, Alzheimer, atau cedera otak traumatis dapat merusak kemampuan individu untuk mengingat urutan langkah-langkah perawatan diri, mengenali isyarat tubuh (seperti rasa lapar atau kebutuhan untuk ke toilet), atau bahkan memahami pentingnya kebersihan pribadi. Dari sisi psikologis, kondisi seperti depresi berat dapat menyebabkan penurunan motivasi dan minat yang ekstrem (anhedonia), sehingga pasien tidak lagi memiliki energi atau keinginan untuk merawat diri. Ansietas atau kecemasan yang parah juga dapat melumpuhkan kemampuan seseorang untuk fokus dan melakukan aktivitas rutin.
Gejala dan tanda yang menjadi dasar penegakan diagnosis ini dibagi menjadi mayor dan minor. Tanda mayor objektif adalah yang paling jelas, yaitu observasi langsung bahwa pasien tidak mampu mandi, mengenakan pakaian, makan, atau ke toilet secara mandiri. Tanda mayor subjektif adalah ketika pasien secara verbal menolak untuk melakukan perawatan diri. Penolakan ini bisa jadi merupakan mekanisme koping terhadap rasa frustrasi, ketidakberdayaan, atau depresi. Sementara itu, tanda minor yang sering menyertai adalah kurangnya minat dalam melakukan perawatan diri, yang menunjukkan adanya komponen psikologis yang mendasari.
Dampak dari DefisitArticle No. 21945 | 06 Oct 2025
Klinis : Ansietas
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Ansietas
Kode SDKI: D.0080
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Ansietas, dalam konteks Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), didefinisikan sebagai kondisi emosi dan pengalaman subjektif individu terhadap objek yang tidak jelas dan spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan individu melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman. Berbeda dengan rasa takut yang merupakan respons terhadap ancaman nyata dan spesifik, ansietas adalah respons terhadap ancaman yang tidak jelas, bersifat internal, dan seringkali tidak dapat diidentifikasi secara langsung. Ini adalah perasaan khawatir, gelisah, atau tidak nyaman yang disertai dengan respons otonom. Ansietas merupakan pengalaman manusia yang universal dan dapat berfungsi sebagai mekanisme pertahanan yang waspada terhadap potensi bahaya. Namun, ketika respons ini menjadi berlebihan, tidak proporsional dengan situasi, atau berlangsung dalam jangka waktu yang lama sehingga mengganggu fungsi sehari-hari, maka ia dianggap sebagai masalah keperawatan yang memerlukan intervensi.
Penyebab atau faktor risiko yang dapat memicu ansietas sangat beragam dan multifaktorial, dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori. Pertama, faktor krisis situasional, seperti perubahan besar dalam hidup (pernikahan, perceraian, kehilangan pekerjaan), menghadapi penyakit berat, atau prosedur medis invasif. Kedua, faktor psikologis, termasuk ancaman terhadap konsep diri, integritas diri, atau harga diri. Individu dengan riwayat trauma, kepribadian yang cenderung cemas, atau mekanisme koping yang tidak efektif lebih rentan mengalami ansietas. Ketiga, kebutuhan dasar yang tidak terpenuhi, seperti kurangnya dukungan sosial, masalah finansial, atau ketidakamanan lingkungan. Keempat, faktor biologis, seperti penyalahgunaan zat (alkohol, kafein, narkotika), paparan toksin, atau adanya kondisi medis yang mendasari seperti gangguan tiroid, penyakit kardiovaskular, atau gangguan neurologis. Kelima, ancaman terhadap kematian, baik yang dialami sendiri (misalnya pada pasien terminal) maupun yang dialami orang terdekat. Terakhir, faktor interpersonal, seperti konflik dalam hubungan atau kurangnya kepuasan dalam interaksi sosial.
Manifestasi klinis ansietas dibagi menjadi gejala dan tanda mayor serta minor. Gejala dan tanda mayor adalah indikator utama yang sangat mungkin menunjukkan adanya ansietas. Secara subjektif, pasien akan melaporkan perasaan bingung, sulit berkonsentrasi, dan merasa sangat khawatir dengan akibat dari kondisi yang sedang dihadapinya. Secara objektif, perawat dapat mengobservasi pasien yang tampak gelisah (misalnya, tidak bisa duduk diam, mondar-mandir), tampak tegang (otot kaku, wajah tegang), dan melaporkan kesulitan untuk tidur (insomnia).
Sementara itu, gejala dan tanda minor memberikan data pendukung yang memperkuat diagnosis. Secara subjektif, pasien mungkin mengeluh pusing, anoreksia (kehilangan nafsu makan), palpitasi (jantung berdebar-debar), dan perasaan tidak berdaya. Secara objektif, perawat dapat mengukur adanya peningkatan frekuensi napas (takipnea), peningkatan frekuensi nadi (takikardia), dan peningkatan tekanan darah (hipertensi) sebagai akibat dari aktivasi sistem saraf simpatis. Tanda lain yang dapat diamati adalah diaforesis (berkeringat berlebihan), tremor (gemetar), kulit pucat, suara yang bergetar saat berbicara, dan kontak mata yang buruk.
Ansietas seringkali terkait dengan berbagai kondisi klinis. Pasien dengan penyakit kronis (misalnya, diabetes, gagal ginjal), penyakit terminal (kanker stadium akhir), atau penyakit autoimun (lupus, rheumatoid arthritis) sering mengalami ansietas terkait ketidakpastian prognosis dan beban pengobatan. Kondisi neurologis seperti stroke atau penyakit Parkinson juga dapat disertai ansietas. Prosedur pembedahan, baik sebelum maupun sesudah, merupakan pemicu umum. Selain itu, ansietas adalah komponen inti dari berbagai gangguan mental seperti gangguan stres pasca-trauma (PTSD), fobia spesifik, gangguan panik, dan gangguan cemas menyeluruh (Generalized Anxiety Disorder/GAD). Oleh karena itu, pengkajian yang komprehensif sangat penting untuk membedakan ansietas sebagai respons normal terhadap stresor atau sebagai bagian dari kondisi patologis yang lebih besar.Kode SLKI: L.09093
Luaran yang Diharapkan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan, diharapkan Tingkat Ansietas menurun dengan kriteria hasil sebagai berikut:
- Verbalisasi kebingungan menurun.
- Verbalisasi khawatir akibat kondisi yang dihadapi menurun.
- Perilaku gelisah menurun.
- Perilaku tegang menurun.
- Keluhan pusing menurun.
- Frekuensi pernapasan membaik.
- Frekuensi nadi membaik.
- Tekanan darah membaik.
- Konsentrasi membaik.
- Pola tidur membaik.
- Kontak mata membaik.
- Pola berkemih membaik.
- Orientasi membaik.
Kode SIKI: I.09314
Intervensi Utama: Reduksi Ansietas
Tindakan:
Observasi
- Identifikasi saat tingkat ansietas berubah (misalnya: kondisi, waktu, stresor).
- Identifikasi kemampuan pasien dalam mengambil keputusan.
- Monitor tanda-tanda ansietas (verbal dan nonverbal).
Terapeutik
- Ciptakan suasana terapeutik untuk menumbuhkan kepercayaan.
- Temani pasien untuk mengurangi kecemasan, jika memungkinkan.
- Pahami situasi yang membuat ansietas dan dengarkan dengan penuh perhatian.
- Gunakan pendekatan yang tenang dan meyakinkan.
- Motivasi pasien untuk meng
-
Article No. 21946 | 06 Oct 2025
Klinis : Seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun datang dengan keluhan mengalami penurunan kesadaran kurang lebih 1 jam SMRS. Pasien datang ke IGD setelah mengalami kecelakaan motor (tunggal), terjatuh sendiri dan masuk kedalam lubang irigasi jalan. Pasien ditemukan sudah tidak sadarkan diri kurang lebih 1 jam SMRS. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran Somnolen, GCS 9 (E3V3M3), tanda vital tekanan darah 130/60mmHg, nadi100x/menit, kuat reguler, respirasi 28x/menit, pernafasan dangkal, suhu 35,8 o C, SPO2 82%. Pupil isokor (3mm), reflek pupil langsung dan tidak langsung mata kanan dan kiri (+), pada leher terdapat jejas bagian kiri (+), pada dinding dada didapati hasil Inspeksi pergerakan dada asimetris (pergerakan dada kiri tertinggal), retraksi dinding dada bagian bawah kanan dan kiri (+), pada regio anterior toraks sinistra di atas processus xypoideus terdapat jejas, ukuran ± 1x5 cm, ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba, perkusi redup pada thoraks sinistra, suara nafas kiri menjauh, vesikular (-/+), ronki basah (+/-), murmur (-), gallop (-). Pada ekstremitas bawah terdapat vulnus eksoriasum pada regio cruris 1/3 proksimal kearah medial dengan diameter kurang lebih 5 cm. Status lokalis regio anterior toraks sinistra terdapat jejas (+) ukuran ± 1x5 cm. pemeriksaan hematologi didapatkan hasil leukosit 27,50 ribu/µL (5– 10ribu/µL), Eritrosit 4,55 juta/ µL (4,37 – 5,63 juta/ µL), Hemoglobin 11,1 g/dL (14 – 18 g/dL), Hematokrit 35,4 % (41 – 54 %), MCV 77,7 Fl (80 – 92 FI), MCH 24,4 Pg (27 – 31 Pg), MCHC 31,4 g/dL(32 – 36 g/dl), Trombosit 319 ribu/µL (150 – 450 ribu/µL). Gambaran foto rontgen thorak AP pada pasien didapatkan gambaran opak pada sisi paru kiri dan sudut costophrenicus yang tumpul. Gambaran opaq menggambarkan terdapatnya cairan pada dinding dada sebelah kiri sehingga menyebabkan tumpulnya sudut costophrenicus dan corakan bronkovaskular tidak terlihat dikarenakan tertutupi oleh cairan tersebut (darah).
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.
-
Article No. 21947 | 06 Oct 2025
Klinis : Seorang remaja laki-laki berusia 17 tahun datang dengan keluhan mengalami penurunan kesadaran kurang lebih 1 jam SMRS. Pasien datang ke IGD setelah mengalami kecelakaan motor (tunggal), terjatuh sendiri dan masuk kedalam lubang irigasi jalan. Pasien ditemukan sudah tidak sadarkan diri kurang lebih 1 jam SMRS. Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran Somnolen, GCS 9 (E3V3M3), tanda vital tekanan darah 130/60mmHg, nadi100x/menit, kuat reguler, respirasi 28x/menit, pernafasan dangkal, suhu 35,8 o C, SPO2 82%. Pupil isokor (3mm), reflek pupil langsung dan tidak langsung mata kanan dan kiri (+), pada leher terdapat jejas bagian kiri (+), pada dinding dada didapati hasil Inspeksi pergerakan dada asimetris (pergerakan dada kiri tertinggal), retraksi dinding dada bagian bawah kanan dan kiri (+), pada regio anterior toraks sinistra di atas processus xypoideus terdapat jejas, ukuran ± 1x5 cm, ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba, perkusi redup pada thoraks sinistra, suara nafas kiri menjauh, vesikular (-/+), ronki basah (+/-), murmur (-), gallop (-). Pada ekstremitas bawah terdapat vulnus eksoriasum pada regio cruris 1/3 proksimal kearah medial dengan diameter kurang lebih 5 cm. Status lokalis regio anterior toraks sinistra terdapat jejas (+) ukuran ± 1x5 cm. pemeriksaan hematologi didapatkan hasil leukosit 27,50 ribu/µL (5– 10ribu/µL), Eritrosit 4,55 juta/ µL (4,37 – 5,63 juta/ µL), Hemoglobin 11,1 g/dL (14 – 18 g/dL), Hematokrit 35,4 % (41 – 54 %), MCV 77,7 Fl (80 – 92 FI), MCH 24,4 Pg (27 – 31 Pg), MCHC 31,4 g/dL(32 – 36 g/dl), Trombosit 319 ribu/µL (150 – 450 ribu/µL). Gambaran foto rontgen thorak AP pada pasien didapatkan gambaran opak pada sisi paru kiri dan sudut costophrenicus yang tumpul. Gambaran opaq menggambarkan terdapatnya cairan pada dinding dada sebelah kiri sehingga menyebabkan tumpulnya sudut costophrenicus dan corakan bronkovaskular tidak terlihat dikarenakan tertutupi oleh cairan tersebut (darah).
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Pola Napas Tidak Efektif b.d. Hambatan Upaya Napas (Trauma Toraks dengan Hemotoraks Sinistra)
Kode SDKI: D.0005
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Pola Napas Tidak Efektif adalah kondisi inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat. Diagnosis ini ditegakkan ketika fungsi pernapasan individu terganggu, mengakibatkan pertukaran udara yang tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Kondisi ini merupakan salah satu diagnosis keperawatan yang paling krusial, terutama dalam setting gawat darurat, karena dapat dengan cepat mengancam jiwa jika tidak ditangani secara efektif. Penyebabnya sangat bervariasi, mulai dari depresi pusat pernapasan, hambatan upaya napas, deformitas dinding dada, hingga gangguan neuromuskular.
Pada kasus remaja laki-laki berusia 17 tahun ini, Pola Napas Tidak Efektif disebabkan secara langsung oleh hambatan upaya napas akibat trauma tumpul pada toraks yang mengakibatkan hemotoraks. Hemotoraks adalah akumulasi darah di dalam rongga pleura, yaitu ruang potensial antara pleura viseralis (yang melapisi paru-paru) dan pleura parietalis (yang melapisi dinding dada). Akibat kecelakaan motor, pasien mengalami cedera yang menyebabkan perdarahan ke dalam rongga pleura kiri. Hal ini dibuktikan oleh serangkaian temuan klinis dan radiologis yang saling mendukung.
Secara patofisiologis, darah yang terkumpul di rongga pleura akan menekan parenkim paru di sisi yang terkena (dalam kasus ini, paru kiri). Tekanan ekstrinsik ini menyebabkan paru-paru tidak dapat mengembang (ekspansi) secara penuh saat inspirasi, suatu kondisi yang dikenal sebagai atelektasis kompresif. Akibatnya, volume tidal (jumlah udara yang masuk dan keluar dalam satu kali napas) menurun secara signifikan. Tubuh merespons penurunan volume tidal ini dengan meningkatkan frekuensi pernapasan (takipnea) sebagai mekanisme kompensasi untuk mempertahankan ventilasi semenit (minute ventilation). Hal ini terlihat pada pasien dengan frekuensi napas 28x/menit, yang berada di atas rentang normal. Namun, pernapasan yang cepat ini seringkali dangkal, sehingga tidak efisien dalam pertukaran gas.
Manifestasi klinis pada pasien ini sangat khas untuk Pola Napas Tidak Efektif akibat hemotoraks. Tanda dan gejala mayor yang teridentifikasi meliputi dispnea (meskipun sulit dinilai secara subjektif karena penurunan kesadaran, takipnea dan penggunaan otot bantu napas secara objektif menunjukkan adanya kesulitan bernapas), penggunaan otot bantu pernapasan (terlihat dari adanya retraksi dinding dada bagian bawah), dan pola napas abnormal (pernapasan dangkal). Tanda dan gejala minor yang mendukung diagnosis ini adalah penurunan kapasitas vital yang tercermin dari saturasi oksigen yang sangat rendah (SpO2 82%), menunjukkan hipoksemia berat.
Pemeriksaan fisik lebih lanjut menguatkan diagnosis. Inspeksi menunjukkan pergerakan dada asimetris, di mana dada kiri tertinggal saat bernapas. Ini adalah tanda patognomonik dari adanya patologi unilateral yang menghambat ekspansi paru, seperti pneumotoraks atau hemotoraks. Perkusi yang menghasilkan suara redup (dullness) pada toraks sinistra mengindikasikan adanya medium non-udara (cairan atau massa padat) di bawah area yang diperkusi, yang dalam konteks trauma ini sangat sugestif akan adanya darah. Auskultasi yang menemukan suara napas kiri menjauh atau melemah (vesikular -/+) adalah konsekuensi logis dari paru yang kolaps dan terhalang oleh lapisan cairan, sehingga transmisi suara napas terganggu. Gambaran rontgen toraks menjadi konfirmasi definitif, menunjukkan gambaran opak pada sisi paru kiri dengan sudut costophrenicus yang tumpul, yang merupakan gambaran klasik dari efusi pleura (dalam hal ini, hemotoraks).
Kondisi ini diperparah oleh adanya penurunan kesadaran (GCS 9) yang dapat mengganggu kemampuan pasien untuk mempertahankan jalan napas yang paten dan mengkoordinasikan upaya napas secara efektif. Selain itu, anemia yang ditunjukkan oleh kadar Hemoglobin 11,1 g/dL dan Hematokrit 35,4 % mengurangi kapasitas darah untuk membawa oksigen, sehingga memperburuk hipoksia jaringan yang sudah terjadi akibatArticle No. 21948 | 06 Oct 2025
Klinis : Ny. N usia 24 tahun G2P10001 UK 29 minggu, datang ke BPM X ingin memeriksakan kehamilannya dengan keluhan nyeri pada punggung, sehingga pasien sulit tidur. Hasil pengkajian data subjektif yaitu HPHT ibu tanggal 19-08-2022, HPL tanggal 26-05-2023. Ny. N mengatakan selama hamil telah melakukan kunjungan ANC sebanyak 9 kali di praktik bidan, puskesmas dan RS X. Ny. N mengatakan Gerakan janin aktif dengan frekuensi gerakan kurang lebih dalam 24 jam bergerak sebanyak 23 gerakan serta ibu mendapatkan tablet Fe dan Kalk. Ny. N mengatakan sudah mendapatkan imunisasi TT sebanyak 4 kali yaitu saat SD dua kali, ketiga saat catin dan keempat saat hamil anak pertama. Ny. N mengatakan semua anggota keluarga tidak memiliki Riwayat penyakit menular, menahun, maupun menurun dan tidak memiliki riwayat keturunan kembar. Pola pemenuhan kebutuhan sehari-hari Ny.N mengatakan ada perubahan pada pola makan sebelum hamil dan sesudah hamil yaitu pada saat hamil pola makan bertambah menjadi sering. Ny.N mengatakan sulit tidur dan sering terbangun karena nyeri punggung, dan jarang tidur siang karena bekerja. Pengkajian eliminasi Ny. N mengatakan tidak terdapat perubahan pada pola BAB dan terdapat perubahan pada pola BAK. Pada pengkajian pola seksualitas Ny. N mengatakan bahwa selama hamil berhubungan dengan suami jarang yaitu 1 kali. Pengkajian personal hygiene dan aktivitas Ny. N mengatakan mandi 2 kali/hari, ganti celana dalam setelah mandi atau saat sudah lembab, membersihkan alat kelamin saat mandi, setelah BAK dan BAB, Ny.N selama hamil ini melakukan pekerjaan berjualan dan pekerjaan rumah. Ny. N mengatakan kehamilan ini merupakan kehamilan yang diinginkan dan direncanakan. Suami dan seluruh keluarga mendukung atas kehamilannya.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: ```html
Diagnosa Keperawatan dan Rencana Asuhan Berdasarkan SDKI-SLKI-SIKI
Sebagai seorang perawat profesional, penegakan diagnosa keperawatan dan perencanaan asuhan yang sistematis adalah krusial untuk memberikan pelayanan yang berkualitas. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) telah menetapkan standar baku melalui tiga pilar utama: Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (SDKI), Standar Luaran Keperawatan Indonesia (SLKI), dan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia (SIKI). Ketiga standar ini menjadi panduan komprehensif bagi perawat dalam proses asuhan keperawatan.
Penjelasan Singkat SDKI, SLKI, dan SIKI
SDKI (Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia)
SDKI adalah klasifikasi diagnosis keperawatan yang diterbitkan oleh PPNI. Tujuannya adalah untuk menyeragamkan penegakan diagnosis keperawatan di seluruh Indonesia, memastikan konsistensi, dan memfasilitasi komunikasi antarprofesi. Diagnosis keperawatan berfokus pada respons manusia terhadap masalah kesehatan aktual atau potensial.
SLKI (Standar Luaran Keperawatan Indonesia)
SLKI adalah klasifikasi luaran keperawatan yang diterbitkan oleh PPNI. Luaran keperawatan adalah hasil yang diharapkan dari intervensi keperawatan, yang dapat diukur dan dievaluasi. SLKI membantu perawat dalam menetapkan tujuan asuhan yang spesifik, terukur, dapat dicapai, relevan, dan berbatas waktu (SMART), serta memantau kemajuan pasien.
SIKI (Standar Intervensi Keperawatan Indonesia)
SIKI adalah klasifikasi intervensi keperawatan yang diterbitkan oleh PPNI. Intervensi keperawatan adalah tindakan yang dilakukan perawat untuk mencapai luaran yang diharapkan. SIKI menyediakan daftar tindakan keperawatan yang terstruktur, berbasis bukti, dan dapat diaplikasikan untuk mengatasi diagnosis keperawatan tertentu.
Analisis Kasus Ny. N dan Perencanaan Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa Keperawatan (SDKI)
Berdasarkan data pengkajian pada Ny. N, keluhan utama "nyeri pada punggung" yang menyebabkan "pasien sulit tidur" dan "sering terbangun", serta "jarang tidur siang karena bekerja" mengindikasikan adanya gangguan pada pola tidur yang signifikan. Nyeri punggung pada kehamilan trimester ketiga adalah keluhan umum akibat perubahan fisiologis seperti peningkatan berat badan, perubahan pusat gravitasi, dan relaksasi ligamen panggul.