Daftar Diagnosa Terbaru
-
Article No. 22198 | 18 Oct 2025
Klinis : Seorang pasien laki-laki bernama Tn. A, berusia 35 tahun, dirawat di ruang intensif setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien diceritakan oleh saksi mata sempat tidak sadar selama beberapa menit setelah kepalanya membentur keras ke aspal. Saat tiba di instalasi gawat darurat, pasien dalam kondisi tidak sadar dengan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) 7 (E2V2M3), tampak anisokor (pupil kanan lebih besar dari kiri) dan refleks cahaya lambat. Hasil pemeriksaan tanda vital menunjukkan tekanan darah 160/90 mmHg, nadi 52 kali/menit, dan pola napas Cheyne-Stokes. Kondisi ini menunjukkan adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Dari hasil CT-scan kepala, ditemukan hematoma subdural disertai edema serebral difus. Pasien juga mengalami muntah proyektil sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan temuan tersebut, perawat menegakkan diagnosis keperawatan risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial akibat perdarahan dan edema otak. Selama perawatan, perawat melakukan pemantauan ketat terhadap kesadaran pasien menggunakan GCS setiap dua jam, serta memantau tanda vital dan reaksi pupil untuk mendeteksi perubahan neurologis. Kepala pasien diposisikan pada sudut 30° dengan leher dalam posisi netral guna memfasilitasi aliran vena serebral dan menurunkan tekanan intrakranial. Lingkungan di sekitar pasien dijaga tetap tenang, pencahayaan dikurangi, dan jumlah pengunjung dibatasi untuk menghindari peningkatan rangsangan yang dapat memperburuk kondisi otak. Perawat juga berkolaborasi dengan tim medis dalam pemberian manitol dan terapi oksigen untuk menurunkan tekanan intrakranial serta mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat. Keluarga pasien diberikan penjelasan mengenai kondisi pasien dan pentingnya menjaga posisi kepala serta menghindari tindakan yang dapat meningkatkan tekanan dalam kepala, seperti batuk atau mengejan. Setelah dilakukan intervensi dan pemantauan selama 24 jam, kondisi pasien menunjukkan tanda perbaikan. Nilai GCS meningkat menjadi 10, pupil mulai isokor dengan refleks cahaya lebih cepat, tekanan darah lebih stabil, dan pola napas lebih teratur. Hal ini menunjukkan adanya perbaikan perfusi jaringan serebral sebagai hasil dari intervensi keperawatan yang tepat.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif
Kode SDKI: D.0017
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif didefinisikan sebagai kondisi di mana seorang individu berisiko mengalami penurunan sirkulasi darah ke otak, yang dapat mengakibatkan kerusakan sel-sel otak yang bersifat ireversibel jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Kondisi ini merupakan diagnosis keperawatan yang krusial, terutama pada pasien dengan cedera kepala traumatik seperti yang dialami oleh Tn. A. Patofisiologi utama yang mendasari risiko ini adalah peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK).
Dalam kondisi normal, rongga kranium yang kaku berisi tiga komponen utama: jaringan otak (sekitar 80%), darah (sekitar 10%), dan cairan serebrospinal (sekitar 10%). Keseimbangan volume ketiga komponen ini diatur oleh doktrin Monro-Kellie, yang menyatakan bahwa total volume di dalam kranium harus tetap konstan. Ketika terjadi cedera seperti pada Tn. A, di mana terdapat hematoma subdural (akumulasi darah di bawah lapisan dura mater) dan edema serebral difus (pembengkakan jaringan otak), volume intrakranial bertambah. Sebagai mekanisme kompensasi awal, tubuh akan mencoba mengurangi volume cairan serebrospinal dan darah vena. Namun, ketika mekanisme ini gagal atau terlampaui, TIK akan mulai meningkat secara signifikan.
Peningkatan TIK ini secara langsung membahayakan perfusi serebral. Perfusi serebral, atau aliran darah ke otak, ditentukan oleh Tekanan Perfusi Serebral (TPS) atau Cerebral Perfusion Pressure (CPP), yang dihitung dengan rumus: CPP = Tekanan Arteri Rata-rata (MAP) - Tekanan Intrakranial (TIK). Dalam keadaan normal, CPP dipertahankan dalam rentang 60-100 mmHg untuk memastikan suplai oksigen dan glukosa yang adekuat ke otak. Ketika TIK meningkat, selisih antara MAP dan TIK menyempit, sehingga CPP menurun. Penurunan CPP di bawah 50 mmHg dapat menyebabkan iskemia serebral, dan jika berlanjut, akan terjadi infark dan kematian sel otak.
Manifestasi klinis yang ditunjukkan oleh Tn. A adalah cerminan klasik dari sindrom peningkatan TIK yang parah. Penurunan kesadaran, yang diukur dengan Glasgow Coma Scale (GCS) dengan skor 7, merupakan tanda paling sensitif dari disfungsi serebral akibat kompresi dan iskemia. Anisokor (pupil kanan lebih besar dari kiri) dengan refleks cahaya yang lambat mengindikasikan adanya tekanan pada nervus okulomotorius (saraf kranial III), yang sering kali disebabkan oleh herniasi uncal—pergeseran lobus temporal medial menekan batang otak. Ini adalah tanda neurologis yang sangat mengkhawatirkan.
Selain itu, Tn. A menunjukkan Cushing's Triad, yaitu serangkaian respons fisiologis terhadap peningkatan TIK yang berat dan merupakan tanda dekompensasi batang otak. Triad ini terdiri dari:
1. **Hipertensi Sistemik:** Tekanan darah 160/90 mmHg. Tubuh secara refleks meningkatkan tekanan darah sistemik (MAP) dalam upaya untuk mempertahankan CPP (CPP = MAP - TIK) saat TIK meningkat.
2. **Bradikardia:** Nadi 52 kali/menit. Peningkatan tekanan darah merangsang baroreseptor di arkus aorta dan sinus karotis, yang memicu respons vagal untuk memperlambat denyut jantung.
3. **Pola Napas Abnormal:** Pola napas Cheyne-Stokes, yang ditandai dengan periode pernapasan yang semakin dalam dan cepat, diikuti oleh periode apnea, menunjukkan adanya disfungsi pada pusat pernapasan di diensefalon atau batang otak.
Muntah proyektil yang dialami pasien juga merupakan gejala khas peningkatan TIK, yang disebabkan oleh tekanan langsung pada pusat muntah di medula oblongata. Berdasarkan temuan-temuan ini, diagnosis "Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif" sangat tepat. Meskipun pasien sudah menunjukkan tanda-tanda kompromi neurologis, diagnosis ini berfokus pada risiko kerusakan lebih lanjut dan menekankan pentingnya intervensi proaktif untuk mencegah hasil yang fatal. Tujuan utama asuhan keperawatan adalah untuk mengidentifikasi, memantau, dan mengelola faktor-faktor yang berkontribusi terhadap peningkatan TIK, sehingga dapat mengoptimalkan CPP dan mencegah cedera otak sekunder.Kode SLKI: L.02014
Luaran yang Diharapkan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan, diharapkan Perfusi Serebral meningkat, dengan kriteria hasil:
- Tingkat kesadaran meningkat (misalnya, skor GCS membaik dari 7 menjadi ≥10).
- Tekanan intrakranial menurun (jika terpasang monitor TIK).
- Tekanan darah sistolik dan diastolik dalam rentang normal atau stabil.
- Frekuensi nadi dalam rentang normal
-
Article No. 22199 | 18 Oct 2025
Klinis : Seorang pasien laki-laki bernama Tn. A, berusia 35 tahun, dirawat di ruang intensif setelah mengalami kecelakaan lalu lintas. Pasien diceritakan oleh saksi mata sempat tidak sadar selama beberapa menit setelah kepalanya membentur keras ke aspal. Saat tiba di instalasi gawat darurat, pasien dalam kondisi tidak sadar dengan nilai Glasgow Coma Scale (GCS) 7 (E2V2M3), tampak anisokor (pupil kanan lebih besar dari kiri) dan refleks cahaya lambat. Hasil pemeriksaan tanda vital menunjukkan tekanan darah 160/90 mmHg, nadi 52 kali/menit, dan pola napas Cheyne-Stokes. Kondisi ini menunjukkan adanya tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Dari hasil CT-scan kepala, ditemukan hematoma subdural disertai edema serebral difus. Pasien juga mengalami muntah proyektil sebelum masuk rumah sakit. Berdasarkan temuan tersebut, perawat menegakkan diagnosis keperawatan risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial akibat perdarahan dan edema otak. Selama perawatan, perawat melakukan pemantauan ketat terhadap kesadaran pasien menggunakan GCS setiap dua jam, serta memantau tanda vital dan reaksi pupil untuk mendeteksi perubahan neurologis. Kepala pasien diposisikan pada sudut 30° dengan leher dalam posisi netral guna memfasilitasi aliran vena serebral dan menurunkan tekanan intrakranial. Lingkungan di sekitar pasien dijaga tetap tenang, pencahayaan dikurangi, dan jumlah pengunjung dibatasi untuk menghindari peningkatan rangsangan yang dapat memperburuk kondisi otak. Perawat juga berkolaborasi dengan tim medis dalam pemberian manitol dan terapi oksigen untuk menurunkan tekanan intrakranial serta mempertahankan oksigenasi otak yang adekuat. Keluarga pasien diberikan penjelasan mengenai kondisi pasien dan pentingnya menjaga posisi kepala serta menghindari tindakan yang dapat meningkatkan tekanan dalam kepala, seperti batuk atau mengejan. Setelah dilakukan intervensi dan pemantauan selama 24 jam, kondisi pasien menunjukkan tanda perbaikan. Nilai GCS meningkat menjadi 10, pupil mulai isokor dengan refleks cahaya lebih cepat, tekanan darah lebih stabil, dan pola napas lebih teratur. Hal ini menunjukkan adanya perbaikan perfusi jaringan serebral sebagai hasil dari intervensi keperawatan yang tepat. SIKI NYA
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10:
Kondisi: Perdarahan Subdural Traumatik dengan kehilangan kesadaran 30 menit atau kurang
Kode ICD-10: S06.5X0
Deskripsi Singkat : Perdarahan subdural traumatik adalah kondisi di mana terjadi pengumpulan darah di antara lapisan dura mater dan araknoid yang menyelimuti otak, akibat cedera kepala. Kondisi ini menyebabkan peningkatan tekanan di dalam rongga tengkorak (tekanan intrakranial), yang menekan jaringan otak dan dapat menyebabkan kerusakan neurologis parah. Gejala klinis pada pasien, seperti penurunan kesadaran (GCS 7), anisokor (pupil tidak sama besar), serta tanda Cushing's triad (tekanan darah tinggi, nadi lambat, pola napas abnormal), merupakan indikasi kuat adanya peningkatan tekanan intrakranial yang mengancam jiwa. Diagnosis keperawatan 'risiko perfusi jaringan serebral tidak efektif' sangat relevan karena kondisi ini secara langsung mengganggu aliran darah dan oksigen ke otak.
Kode ICD-10 **S06.5X0** secara spesifik mengklasifikasikan cedera ini. **S06** menunjukkan kategori 'Cedera Intrakranial'. Angka **.5** merinci jenis cedera sebagai 'Perdarahan Subdural Traumatik'. Karakter keenam, **X0**, memberikan informasi tambahan mengenai status kesadaran pasien, yaitu 'dengan kehilangan kesadaran selama 30 menit atau kurang', sesuai dengan deskripsi kasus di mana pasien tidak sadar selama beberapa menit.***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti kodifikasi resmi oleh profesional medis.***
-
Article No. 22171 | 17 Oct 2025
Klinis : diabetes melitus
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: diabetes melitus
Kode SDKI: D.0027
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah didefinisikan sebagai variasi kadar glukosa darah yang naik (hiperglikemia) atau turun (hipoglikemia) dari rentang normal. Diagnosis ini merupakan masalah sentral dalam manajemen pasien dengan diabetes melitus (DM), suatu kondisi metabolik kronis yang ditandai oleh tingginya kadar glukosa darah akibat produksi insulin yang tidak memadai, resistensi terhadap kerja insulin, atau keduanya. Ketidakstabilan ini bukan hanya sekadar angka pada glukometer, melainkan cerminan dari kompleksitas interaksi antara fisiologi tubuh, gaya hidup, dan manajemen terapeutik yang sedang berjalan. Peran perawat dalam mengidentifikasi, mengelola, dan mengedukasi pasien mengenai kondisi ini sangat krusial untuk mencegah komplikasi akut yang mengancam jiwa dan komplikasi kronis yang menurunkan kualitas hidup.
Penyebab utama ketidakstabilan kadar glukosa darah pada pasien DM adalah disfungsi pankreas. Pada DM Tipe 1, sistem imun tubuh secara keliru menyerang dan menghancurkan sel beta di pankreas, yang bertanggung jawab untuk memproduksi insulin. Akibatnya, terjadi defisiensi insulin absolut, menyebabkan glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel untuk diubah menjadi energi dan menumpuk di dalam darah, mengakibatkan hiperglikemia. Tanpa insulin eksogen (suntikan), pasien akan mengalami hiperglikemia berat yang dapat berujung pada Ketoasidosis Diabetik (KAD), suatu kondisi gawat darurat. Sebaliknya, pemberian insulin yang tidak tepat, misalnya dosis yang berlebihan atau tidak diimbangi dengan asupan karbohidrat yang cukup, dapat dengan cepat menyebabkan hipoglikemia.
Pada DM Tipe 2, masalahnya lebih kompleks. Awalnya, tubuh mengalami resistensi insulin, di mana sel-sel tubuh tidak merespons insulin secara efektif. Pankreas mencoba mengkompensasi dengan memproduksi lebih banyak insulin, namun seiring waktu, kemampuan produksi ini akan menurun. Kombinasi resistensi insulin dan defisiensi insulin relatif ini menciptakan lingkungan yang sangat rentan terhadap fluktuasi glukosa. Faktor-faktor seperti pola makan yang tidak teratur, kurangnya aktivitas fisik, stres, penyakit penyerta, dan penggunaan obat-obatan tertentu (misalnya kortikosteroid) dapat dengan mudah memicu episode hiperglikemia. Di sisi lain, penggunaan obat antidiabetik oral (seperti sulfonilurea) atau insulin tanpa pemantauan yang cermat dapat memicu hipoglikemia.
Manifestasi klinis dari ketidakstabilan ini terbagi menjadi dua spektrum: hiperglikemia dan hipoglikemia. Gejala mayor hiperglikemia yang sering dilaporkan pasien adalah kelelahan atau lesu yang signifikan. Secara objektif, kadar glukosa darah yang tinggi akan terdeteksi. Gejala klasik lainnya meliputi poliuria (sering buang air kecil) karena ginjal berusaha mengeluarkan kelebihan glukosa, polidipsia (rasa haus yang meningkat) sebagai respons terhadap dehidrasi, dan polifagia (nafsu makan meningkat) karena sel-sel tubuh "kelaparan" energi. Jika tidak ditangani, hiperglikemia dapat menyebabkan pandangan kabur, sakit kepala, dan pada kasus yang parah, penurunan kesadaran hingga koma.
Di sisi lain, hipoglikemia adalah kondisi yang tidak kalah berbahayanya dan seringkali terjadi lebih cepat. Gejala awalnya (autonomik) meliputi gemetar, berkeringat, pucat, jantung berdebar, dan rasa lapar yang kuat. Jika kadar glukosa terus menurun, otak akan kekurangan sumber energi utama, menyebabkan gejala neuroglikopenik seperti pusing, kebingungan, sulit bicara, pandangan kabur, kelemahan, hingga penurunan kesadaran, kejang, dan kematian jika tidak segera ditangani. Pasien sering melaporkan merasa mengantuk atau lelah secara tiba-tiba sebagai tanda awal.
Peran perawat dalam menegArticle No. 22172 | 17 Oct 2025
Klinis : Kalium 6.7
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.
Article No. 22173 | 17 Oct 2025
Klinis : Data Subjektif: Pasien mengatakan cepat lelah setelah aktivitas ringan dan saat kadar gula turun. Data Objektif: Tampak lemah selama episode hipoglikemia; gejala membaik setelah terapi dextrose.
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah
Kode SDKI: D.0027
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Ketidakstabilan Kadar Glukosa Darah adalah suatu kondisi di mana terjadi variasi kadar glukosa darah yang naik (hiperglikemia) atau turun (hipoglikemia) dari rentang normal. Kondisi ini merupakan masalah keperawatan yang krusial, terutama pada individu dengan gangguan metabolisme glukosa seperti Diabetes Melitus, namun juga dapat terjadi pada kondisi klinis lain. Keseimbangan glukosa darah, atau homeostasis glukosa, adalah proses fisiologis yang kompleks dan diatur secara ketat oleh hormon, terutama insulin dan glukagon, yang diproduksi oleh pankreas. Insulin berfungsi menurunkan kadar glukosa darah dengan memfasilitasi masuknya glukosa ke dalam sel untuk digunakan sebagai energi, sementara glukagon bekerja sebaliknya dengan merangsang hati untuk melepaskan glukosa ke dalam aliran darah. Gangguan pada produksi, sekresi, atau sensitivitas sel terhadap hormon-hormon ini akan menyebabkan ketidakstabilan kadar glukosa darah.
Penyebab atau faktor risiko yang berkontribusi terhadap diagnosis ini sangat beragam, mencakup kegagalan dalam manajemen diabetes, kurangnya paparan informasi mengenai manajemen penyakit,Article No. 22174 | 17 Oct 2025
Klinis : infeksi
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Risiko Infeksi
Kode SDKI: D.0142
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Risiko Infeksi didefinisikan sebagai kondisi di mana seorang individu berisiko mengalami peningkatan paparan terhadap organisme patogenik (seperti virus, bakteri, jamur, protozoa, atau parasit) yang dapat menginvasi jaringan tubuh dan menyebabkan penyakit. Diagnosis ini tidak menunjukkan adanya infeksi yang aktif, melainkan adanya faktor-faktor risiko yang membuat individu tersebut rentan terhadap infeksi. Penegakan diagnosis ini bersifat antisipatif, bertujuan untuk mengidentifikasi individu yang memerlukan intervensi keperawatan proaktif untuk mencegah terjadinya infeksi. Identifikasi risiko ini sangat krusial dalam berbagai tatanan layanan kesehatan, mulai dari perawatan komunitas hingga unit perawatan intensif, karena infeksi dapat menyebabkan morbiditas yang signifikan, memperpanjang masa rawat inap, meningkatkan biaya perawatan, dan bahkan menyebabkan mortalitas.
Faktor risiko yang berkontribusi terhadap diagnosis ini dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kategori utama. Pertama, faktor yang berhubungan dengan pertahanan tubuh primer yang tidak adekuat. Ini mencakup kerusakan integritas kulit atau jaringan, seperti luka bedah, luka bakar, ulkus dekubitus, atau lokasi pemasangan alat invasif (misalnya, kateter intravena, kateter urin, atau selang drainase). Kulit dan membran mukosa adalah benteng pertahanan pertama tubuh terhadap mikroorganisme. Ketika barrier ini rusak, patogen memiliki jalur masuk langsung ke dalam jaringan yang lebih dalam dan aliran darah. Selain itu, cairan tubuh yang statis, seperti retensi urin pada pasien dengan obstruksi saluran kemih atau sekret paru yang tidak dapat dikeluarkan secara efektif pada pasien imobilisasi, dapat menjadi medium yang subur untuk pertumbuhan bakteri. Penurunan kerja siliaris pada saluran pernapasan, yang sering terjadi pada perokok atau pasien dengan penyakit paru kronis, juga mengganggu mekanisme pembersihan patogen dari paru-paru.
Kedua, faktor yang berhubungan dengan pertahanan tubuh sekunder yang tidak adekuat atau supresi sistem imun. Ini mencakup kondisi seperti penurunan kadar hemoglobin, leukopenia (penurunan jumlah sel darah putih), atau neutropenia. Sel darah putih, terutama neutrofil, adalah komponen kunci dari respons imun bawaan yang melawan infeksi bakteri. Pasien yang menjalani kemoterapi, terapi radiasi, atau menerima obat imunosupresan (misalnya, setelah transplantasi organ) memiliki sistem imun yang sengaja atau tidak sengaja ditekan, membuat mereka sangat rentan. Kondisi medis kronis seperti diabetes melitus (karena sirkulasi yang buruk dan fungsi neutrofil yang terganggu), HIV/AIDS (yang secara langsung menyerang sel T helper), penyakit hati, dan gagal ginjal juga secara signifikan melemahkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi. Malnutrisi, baik kekurangan protein maupun mikronutrien, juga berdampak negatif pada fungsi imun, karena komponen sistem imun memerlukan nutrisi yang adekuat untuk produksi dan fungsinya.
Ketiga, faktor lingkungan. Paparan terhadap wabah atau patogen di lingkungan sekitar merupakan risiko yang jelas. Ini sangat relevan di fasilitas layanan kesehatan, di mana pasien dapat terpapar pada mikroorganisme yang resisten terhadap banyak obat (MDROs) melalui kontak dengan petugas kesehatan, pasien lain, atau permukaan yang terkontaminasi. Ini dikenal sebagai infeksi terkait layanan kesehatan atau Healthcare-Associated Infections (HAIs). Prosedur invasif, seperti pembedahan, pemasangan kateter, atau intubasi, secara inheren meningkatkan risiko infeksi dengan melewati pertahanan alami tubuh. Semakin lama durasi penggunaan alat invasif, semakin tinggi pula risikonya.
Keempat, faktor-faktor lain seperti usia ekstrem (bayi baru lahir dan lansia) juga meningkatkan kerentanan. Sistem imun bayi belum matang sepenuhnya, sementara pada lansia terjadi proses immunosenescence atau penuaan sistem imun, yang mengurangi efektivitas respons imun. Kurang pengetahuan tentang cara menghindari paparan patogen, seperti praktik kebersihan tangan yang buruk, juga merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi melalui edukasi.
Dalam praktiknya, perawat harus melakukan pengkajian komprehensif untuk mengidentifikasi kombinasi faktor-faktor risiko ini pada setiap pasien. Pengkajian ini meliputi riwayat kesehatan, pemeriksaan fisik (terutama kondisi kulit dan lokasi alat invasif), hasil laboratorium (seperti hitung darah lengkap), status nutrisi, dan pemahaman pasien tentang pencegahan infeksi. Dengan mengidentifikasi risiko ini secara dini, perawat dapat merencanakan dan mengimplementasikan intervensi yang ditargetkan untuk meminimalkan kemungkinan terjadinya infeksi, melindungi keselamatan pasien, dan meningkatkan hasil klinis secara keseluruhan.Kode SLKI: L.14137
Luaran yang Diharapkan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan, diharapkan **Tingkat Infeksi** menurun dengan kriteria hasil sebagai berikut:
- Demam: Menurun
- Kemerahan pada area terdampak: Menurun
- Nyeri atau bengkak pada area terdampak: Menurun
- Kadar sel darah putih: Membaik (dalam rentang normal)
- Kultur darah, urin, atau luka: Membaik (menunjukkan tidak ada pertumbuhan patogen)
- Nafsu makan: Meningkat
- Pioderma (lesi kulit bernanah): Menurun
Tujuan utama adalah pasien tidak menunjukkan tanda dan gejala infeksi selama masa perawatan atau risiko infeksi dapat dikendalikan secara efektif.Kode SIKI: I.14539
Intervensi Utama: **Pencegahan Infeksi**
**Observasi:**
- Monitor tanda dan gejala infeksi lokal dan sistemik (misalnya, demam, kemerahan, bengkak, nyeri, peningkatan denyut jantung, takipnea, perubahan status mental).
- Monitor hasil pemeriksaan laboratorium terkait infeksi (misalnya, hitung sel darah putih, C-reactive protein/CRP, hasil kultur).
**Terapeutik:**
- Batasi jumlah pengunjung untuk mengurangi paparan patogen dari luar.
- Berikan perawatan kulit pada area edema atau area yang berisiko mengalami kerusakan integritas.
- Cuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan pasien dan lingkungan pasien menggunakan sabun antiseptik atau hand sanitizer berbasis alkohol.
- Pertahankan teknik aseptik pada pasien berisiko tinggi (misalnya, saat melakukan perawatan luka, memasang kateter, atau memberikan injeksi).
- Lakukan perawatan luka secara benar sesuai protokol untuk mencegah kontaminasi.
**Edukasi:**
- Jelaskan kepada pasien dan keluarga mengenai tanda dan gejala infeksi serta kapan harus melaporkannya kepada tenaga kesehatan.
- Ajarkan cara mencuci tangan yang benar kepada pasien dan keluarga.
- Anjurkan untuk meningkatkan asupan nutrisi yang adekuat, terutama protein dan vitamin, untuk mendukung fungsi sistem imun.
- Anjurkan untuk meningkatkan asupan cairan untuk membantu proses eliminasi patogen.
**Kolaborasi:**
- Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian terapi antibiotik, antipiretik, atau imunisasi jika diindikasikan.
***PERINGATAN: Informasi dan kode ini adalah SARAN untuk tujuan DIKLAT/SIMULASI dan BUKAN pengganti diagnosis atau kodifikasi resmi.***
Article No. 22150 | 16 Oct 2025
Klinis : Kondisi bayi saat ini sesak tidak ,gerak tangis kuat, pilek tidak, batuk tidak, icterus tidak, febris ya, minum perspeen, reflek hisap kuat, tumpah tidak, kembung tidak, BAK ya, BAB ya, Pasien dalam pengawasan Kesadaran : Waspada Kepala : a/i/c/d -/-/-/- Mata : isokor Telinga : simetris Hidung : PCH (-) Mulut : Hipersaliva (-) Leher : Pembesaran KGB (-) Dada : Retraksi (-), S1/S2 tunggal, Rh -/-, Wh -/- Perut : Soefl, bising usus (+) Genital : testis sudah turun Extremitas Atas : DBN Extremitas Bawah : DBN, Akral hangat, CRT <2dtk TTV : Suhu: 38,3 C HR: 162x/mnt RR: 48x/mnt downscore :0 Lab 07/10 di PMC Bilirubin total 18.90 Bilirubin direk 0.94 Lab 10/10/2025 Bilirubin Total 9.57 mg/dL 0.3 ~ 1.2 H Bilirubin Direk 0.39 mg/dL < 0.2 H Billirubin Indirek 9.18 Lab 11/10 Hb 16,1 Leukosit 8.87 Hematokrut 47.4 Eritrosit 4.79 MCV 98.9 MCH 33.6 MCHC 33.9 RDW CV 15.5 Trombosit 382 BBL 2900 gram BBM 2980 gram BBS 3080 gram Vicc Sx 2x200 mg (H3) Gentamisin 1x16 mg (H1) Po. L-bio 1 x 1sac Po. Alco drop 3x0,2 ml Po. Sanmol drop 3x0,3 ml (k/p) Gentamisin tetes mata 3x1 tts Mico-z 2x/hr ASI/SF 8 x 60ml
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10: Gagal mendapatkan konten dari API. Cek log server atau API Key.
Article No. 22151 | 16 Oct 2025
Klinis : Kondisi bayi saat ini sesak tidak ,gerak tangis kuat, pilek tidak, batuk tidak, icterus tidak, febris ya, minum perspeen, reflek hisap kuat, tumpah tidak, kembung tidak, BAK ya, BAB ya, Pasien dalam pengawasan Kesadaran : Waspada Kepala : a/i/c/d -/-/-/- Mata : isokor Telinga : simetris Hidung : PCH (-) Mulut : Hipersaliva (-) Leher : Pembesaran KGB (-) Dada : Retraksi (-), S1/S2 tunggal, Rh -/-, Wh -/- Perut : Soefl, bising usus (+) Genital : testis sudah turun Extremitas Atas : DBN Extremitas Bawah : DBN, Akral hangat, CRT <2dtk TTV : Suhu: 38,3 C HR: 162x/mnt RR: 48x/mnt downscore :0 Lab 07/10 di PMC Bilirubin total 18.90 Bilirubin direk 0.94 Lab 10/10/2025 Bilirubin Total 9.57 mg/dL 0.3 ~ 1.2 H Bilirubin Direk 0.39 mg/dL < 0.2 H Billirubin Indirek 9.18 Lab 11/10 Hb 16,1 Leukosit 8.87 Hematokrut 47.4 Eritrosit 4.79 MCV 98.9 MCH 33.6 MCHC 33.9 RDW CV 15.5 Trombosit 382 BBL 2900 gram BBM 2980 gram BBS 3080 gram Vicc Sx 2x200 mg (H3) Gentamisin 1x16 mg (H1) Po. L-bio 1 x 1sac Po. Alco drop 3x0,2 ml Po. Sanmol drop 3x0,3 ml (k/p) Gentamisin tetes mata 3x1 tts Mico-z 2x/hr ASI/SF 8 x 60ml
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI:
Kondisi: Hipertermia
Kode SDKI: D.0130
Definisi dan Deskripsi SDKI (500-1000 kata): Hipertermia adalah kondisi di mana suhu tubuh meningkat di atas rentang normal tubuh, yaitu di atas 37,5°C. Kondisi ini terjadi ketika mekanisme termoregulasi tubuh gagal untuk menghilangkan panas yang berlebihan, yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Penyebab utama hipertermia pada neonatus dan bayi, seperti pada kasus ini, sering kali adalah proses penyakit infeksius. Ketika tubuh mendeteksi patogen (seperti bakteri atau virus), sistem imun akan melepaskan zat pirogen yang merangsang hipotalamus di otak untuk menaikkan 'set point' suhu tubuh. Akibatnya, tubuh akan berusaha mencapai suhu baru yang lebih tinggi ini melalui peningkatan laju metabolisme, vasokonstriksi perifer, dan pada anak yang lebih besar, menggigil. Pada bayi, tanda-tanda ini dimanifestasikan dengan peningkatan frekuensi jantung (takikardia) dan frekuensi pernapasan (takipnea) sebagai respons kompensasi terhadap kebutuhan oksigen yang lebih tinggi akibat metabolisme yang meningkat. Gejala dan tanda mayor objektif dari hipertermia adalah suhu tubuh yang terukur di atas nilai normal. Gejala minor yang dapat menyertai meliputi kulit yang terasa hangat saat disentuh, kulit kemerahan, takikardia, dan takipnea. Pada kasus ini, pasien menunjukkan suhu 38,3°C, denyut jantung 162x/menit, dan laju pernapasan 48x/menit, yang semuanya konsisten dengan diagnosis hipertermia. Penanganan hipertermia berfokus pada dua hal: menurunkan suhu tubuh secara simtomatik dan mengobati penyebab yang mendasarinya. Jika tidak ditangani, hipertermia yang berkepanjangan dapat menyebabkan dehidrasi, ketidakseimbangan elektrolit, dan pada kasus yang parah, dapat memicu kejang demam, terutama pada populasi pediatrik.
Kode SLKI: L.14134
Luaran yang Diharapkan: Setelah dilakukan intervensi keperawatan, diharapkan Termoregulasi membaik dengan kriteria hasil:
- Suhu tubuh menurun ke rentang normal (36,5 - 37,5°C).
- Frekuensi nadi menurun ke rentang normal sesuai usia (120-160x/menit).
- Frekuensi napas menurun ke rentang normal sesuai usia (30-60x/menit).
- Kulit tidak lagi teraba panas atau tampak kemerahan.
- Pasien menunjukkan tanda-tanda kenyamanan (tidak rewel).
Kode SIKI: I.15506
Intervensi Utama: Manajemen Hipertermia
Observasi:
- Identifikasi penyebab hipertermia (misalnya, proses infeksi, dehidrasi).
- Monitor suhu tubuh pasien secara berkala (setiap 2-4 jam atau sesuai kebutuhan).
- Monitor frekuensi nadi dan pernapasan.
- Monitor warna dan suhu kulit serta tanda-tanda dehidrasi (misalnya, turgor kulit, kelembapan mukosa).
Terapeutik:
- Sediakan lingkungan yang sejuk dan nyaman.
- Longgarkan atau lepaskan pakaian bayi untuk memfasilitasi penguapan panas.
- Lakukan kompres hangat (bukan kompres dingin atau alkohol) pada area dahi, leher, aksila, dan lipat paha.
- Anjurkan pemberian asupan cairan (ASI/SF) yang adekuat untuk mencegah dehidrasi.
Edukasi:
- Jelaskan kepada keluarga mengenai penyebab demam dan cara penanganannya.
- Anjurkan
-
Article No. 22152 | 16 Oct 2025
Klinis : Pasien wanita, usia 60 tahun, mengalami nyeri dada yang hebat, menjalar ke lengan kiri, disertai dengan sesak napas, mual, dan keringat dingin. EKG menunjukkan infark miokard akut. Pasien memiliki riwayat hipertensi dan diabetes melitus tipe 2.
ICD-SDKI: ICD
Diagnosa:
Kode ICD-10:
Kondisi: Infark Miokard Akut (Acute Myocardial Infarction)
Kode ICD-10: I21.9
Deskripsi Singkat : Infark Miokard Akut (IMA), atau yang umum dikenal sebagai serangan jantung, adalah kondisi gawat darurat medis yang terjadi ketika aliran darah ke sebagian otot jantung terhenti secara tiba-tiba. Penyebab utamanya adalah penyumbatan arteri koroner oleh gumpalan darah yang terbentuk pada plak aterosklerosis yang pecah. Tanpa pasokan darah yang kaya oksigen, jaringan otot jantung mulai rusak dan mati. Gejala khasnya meliputi nyeri dada hebat yang bisa menjalar ke lengan, leher, atau rahang, sesak napas, mual, dan keringat
Article No. 22153 | 16 Oct 2025
Klinis : Penggunaan otot bantu napas Retraksi dada Pernapasan cuping hidung Terpasang ncpap fio2 25% peep 7 Pola napas hiperventilasi
ICD-SDKI: SDKI
Diagnosa:
DIAGNOSE SDKI: ```html
Diagnosa Keperawatan, Luaran, dan Intervensi (SDKI - SLKI - SIKI)
Berdasarkan data kondisi pasien yang diberikan, yaitu penggunaan otot bantu napas, retraksi dada, pernapasan cuping hidung, pola napas hiperventilasi, serta terpasang NCPAP FiO2 25% PEEP 7, diagnosa keperawatan yang paling relevan adalah Pola Napas Tidak Efektif.
1. Diagnosa Keperawatan (SDKI)
Komponen
Detail
Kode SDKI
D.0005
Nama Diagnosa
Pola Napas Tidak Efektif
Definisi
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberikan ventilasi adekuat.
Batasan Karakteristik (Data Objektif)
- Penggunaan otot bantu napas (sesuai data pasien)
- Retraksi dada (sesuai data pasien)
- Pernapasan cuping hidung (sesuai data pasien)
- Pola napas hiperventilasi (sesuai data pasien)
- Dispnea
- Fase ekspirasi memanjang
- Penurunan tekanan inspirasi/ekspirasi
- Penurunan ventilasi semenit
- Penurunan kapasitas vital
- Takipnea
- Kedalaman napas menurun
Penyebab (Etiologi)
Penyebab spesifik tidak teridentifikasi dari data yang diberikan, namun dapat terkait dengan:
- Hambatan upaya napas (mis. nyeri saat bernapas, kelemahan otot pernapasan)
- Deformitas dinding dada
- Gangguan neuromuskular
- Kerusakan neurologis (mis. cedera kepala, stroke)
- Imaturitas neurologis (pada bayi)
- Ansietas
- Nyeri
(Penentuan etiologi yang tepat memerlukan pengkajian lebih lanjut terhadap riwayat kesehatan dan kondisi klinis pasien secara menyeluruh.)
2. Luaran Keperawatan (SLKI)